![]() |
(Foto/urbanjabar) |
Majalengka,Media Jurnal Investigasi – Dugaan penguasaan aset negara secara ilegal kembali mencuat di Kabupaten Majalengka. Komisi Pengawasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi (KPK TIPIKOR) Kabupaten Majalengka mengungkapkan bahwa saluran irigasi sepanjang 777 meter dengan lebar 17 meter, serta tanah cadangan irigasi (TCI) seluas 1.400 meter persegi, kini di sinyalir telah tertutup bangunan milik PT Nabati Majalengka (PT Kaldu Sari Nabati Majalengka). Yang lebih mengkhawatirkan, belum ditemukan adanya dokumen resmi yang membuktikan bahwa telah terjadi perjanjian tukar guling dengan pihak pemerintah.
Ketua DPD KPK TIPIKOR Majalengka, H. Dody Sanjaya pada Selasa,(25/2), menyatakan bahwa temuan ini tidak hanya mencerminkan kelalaian administrasi, tetapi juga berpotensi melanggar berbagai peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan aset negara dan tata ruang wilayah.
Berdasarkan hasil investigasi awal, dugaan alih fungsi ini berpotensi melanggar berbagai regulasi, di antaranya:
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
Pasal 48 ayat (2) menyatakan bahwa "Tanah cadangan irigasi tidak boleh dialihfungsikan kecuali untuk kepentingan umum dan harus melalui prosedur yang ditetapkan pemerintah."
Jika benar saluran irigasi ini telah tertutup tanpa mekanisme yang sah, maka tindakan tersebut merupakan penyalahgunaan aset sumber daya air yang dapat berdampak pada ekosistem dan kepentingan masyarakat luas.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa tanah yang dikuasai negara hanya boleh dialihkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Jika tidak ada bukti bahwa tanah irigasi ini telah dialihkan secara sah melalui mekanisme yang jelas, maka PT Kaldu Sari Nabati Majalengka dan pihak terkait bisa dikategorikan telah menguasai aset negara secara ilegal.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai
Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa ruang manfaat sungai dan irigasi tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan lain tanpa izin resmi dari pemerintah.
Dengan tertutupnya saluran irigasi oleh bangunan industri, ada indikasi bahwa PT Kaldu Sari Nabati Majalengka telah melakukan pelanggaran terhadap aturan ini.
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara dapat dipidana seumur hidup atau minimal 4 tahun penjara.
Jika ditemukan indikasi bahwa pengalihan aset ini melibatkan oknum pejabat daerah, maka kasus ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-undang ini menegaskan bahwa masyarakat wajib memberikan atau mendahulukan fungsi ruang untuk kepentingan umum.
Jika PT Kaldu Sari Nabati Majalengka mengabaikan ketentuan ini dengan mengalihfungsikan ruang yang seharusnya digunakan untuk irigasi menjadi kawasan industri tanpa izin, maka tindakan tersebut jelas bertentangan dengan hukum dan merugikan kepentingan publik dan menurut pasal 61 huruf d PT nabati Majalengka bisa di tutup.
Lebih parah lagi, dugaan pelanggaran ini terjadi di depan mata Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Majalengka, yang hingga kini belum menunjukkan sikap tegas terhadap masalah ini. Padahal, sebagai lembaga yang berwenang dalam pengawasan aset daerah, mereka seharusnya bertindak proaktif dalam melindungi tanah negara dari penyalahgunaan.
"Jika ada dugaan penyalahgunaan aset publik, pemerintah daerah wajib turun tangan. Tetapi, dalam kasus ini, mereka malah diam. Ini bisa diartikan sebagai bentuk pembiaran atau bahkan keterlibatan dalam dugaan pelanggaran hukum ini," kata H. Dody Sanjaya.
Apakah ini bentuk kelalaian, ketidaktahuan, atau ada indikasi kepentingan tertentu di balik diamnya pemerintah daerah dan DPRD? Publik berhak mendapatkan jawaban yang transparan atas persoalan ini.
Melihat indikasi pelanggaran serius ini, KPK TIPIKOR Majalengka menuntut aparat penegak hukum untuk segera melakukan investigasi mendalam. Jika terbukti ada unsur penyalahgunaan wewenang dan persekongkolan antara pejabat daerah dengan pihak industri, maka mereka harus diproses sesuai hukum yang berlaku.
Kasus ini menjadi cerminan buruk bagi tata kelola aset negara di Kabupaten Majalengka. Jika dugaan ini benar, maka bukan hanya PT Nabati Majalengka yang harus bertanggung jawab, tetapi juga pemerintah daerah dan DPRD yang membiarkan pelanggaran ini terjadi.
Apakah hukum di Majalengka masih berpihak pada kepentingan rakyat? Ataukah kasus ini akan menjadi bukti bahwa kekuasaan dan uang bisa membeli hukum?
Publik menunggu tindakan tegas dari aparat penegak hukum.(red)