Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com – Insiden dugaan kekerasan dan pungutan liar (pungli) terjadi di atas kapal KM Pangrango, yang melayani rute Ambon, Banda, dan Saumlaki pada 9 Januari 2025. Kejadian ini melibatkan salah satu penumpang bernama Marten yang mengaku menjadi korban perlakuan tidak semestinya dari oknum crew kapal.
Menurut keterangan Marten Manutila (58), ia mengakui kesalahannya karena menaiki kapal tanpa memiliki tiket resmi. Ia berupaya menyelesaikan masalah tersebut dengan melapor ke kantor kapal dan menyerahkan uang Rp50.000 sebagai bentuk tanggung jawabnya. Namun, pihak keamanan menolak uang tersebut dengan alasan kekurangan Rp100.000 dari total yang seharusnya dibayarkan.
“Saya sudah berusaha melapor dan membayar Rp50.000, tapi security menolak dan meminta saya mencari tambahan Rp100.000. Setelah saya kembali dengan total Rp100.000, uang tersebut tetap ditolak,” ujar Marten kepada wartawan. Kamis, (09/12/2025).
Karena ditolak, Manutila terpaksa naik ke bagian emperan kapal hingga pemeriksaan tiket dilakukan. Saat pemeriksaan berlangsung, ia kembali menyerahkan Rp50.000 kepada salah satu crew kapal. Namun, setelah pemeriksaan selesai, salah satu petugas keamanan mendatangi Marten dan mengembalikan uang tersebut, kemudian membawanya ke kantor kapal.
Setibanya di kantor, Dirinya menyampaikan bahwa ia siap membayar kekurangan biaya tiket. Ia bahkan sempat meminjam uang tambahan Rp50.000 hingga terkumpul Rp100.000 untuk diserahkan kepada pihak keamanan kapal. Namun, yang terjadi selanjutnya justru mengejutkan. Saat Marten mencoba mendokumentasikan bukti pembayaran dengan mengambil foto sebagai bukti bahwa ia telah melunasi pembayaran, salah satu petugas keamanan justru mencengkram lehernya.
“Saya hanya ingin bukti bahwa saya sudah membayar, tapi mereka malah mencengkram leher saya,” jelas Marten dengan nada kecewa.
Tindakan Kekerasan dan Dugaan Pungli
Berdasarkan pernyataannya, kejadian ini mengindikasikan adanya dugaan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum crew KM. Pangrango. Kekerasan fisik yang dilakukan saat korban mencoba mendokumentasikan bukti pembayaran memperkuat dugaan bahwa insiden ini bukan sekadar kesalahpahaman, melainkan tindakan yang melanggar aturan hukum.
Merujuk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, tindakan kekerasan dan pungutan liar di sektor transportasi umum merupakan pelanggaran serius. Pasal 368 KUHP menyatakan bahwa pemaksaan pembayaran dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dikenakan sanksi pidana. Selain itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran juga mengatur bahwa crew kapal wajib melayani penumpang dengan penuh tanggung jawab dan menghindari tindakan yang merugikan penumpang.
Perlu Evaluasi dan Tindakan Tegas
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi pihak manajemen KM. Pangrango dan otoritas terkait untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap prosedur pelayanan penumpang di kapal. Perlu adanya pelatihan ulang bagi crew kapal, khususnya dalam menangani penumpang yang tidak memiliki tiket dengan pendekatan yang lebih humanis dan sesuai hukum.
Selain itu, pihak berwenang seperti Syahbandar dan Dinas Perhubungan perlu segera melakukan investigasi menyeluruh terkait insiden ini. Jika terbukti adanya pungli dan kekerasan, oknum pelaku harus diberikan sanksi tegas untuk mencegah kejadian serupa terulang di kemudian hari.
Sebagai fasilitas transportasi laut yang melayani masyarakat, KM. Pangrango seharusnya mengutamakan keselamatan, kenyamanan, dan keadilan bagi seluruh penumpangnya. Kepercayaan publik terhadap pelayanan kapal penumpang hanya dapat dijaga jika seluruh awak kapal mematuhi peraturan dan menghindari praktik-praktik yang merugikan masyarakat.
Hingga berita ini dipublish, wartawan media ini telah berupaya menghubungi ABK KM. Pangrango namun belum dapat dikonfirmasi. (WL)