Cirebon,Media Jurnal Investigasi-Program makan siang gratis yang digagas oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto menjadi salah satu janji politik yang menarik perhatian publik. Dengan estimasi anggaran yang mencapai ratusan triliun rupiah per tahun, program ini bertujuan untuk meningkatkan gizi anak sekolah dan mengatasi masalah stunting serta ketimpangan ekonomi di Indonesia. Namun, di balik ambisi besar program ini, terdapat kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan: potensi penyalahgunaan anggaran oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab di lapangan.
Potensi Besar, Risiko Korupsi Lebih Besar
Program makan siang gratis ini melibatkan rantai birokrasi yang panjang, mulai dari pemerintah pusat, daerah, hingga pihak sekolah. Dengan demikian, dana besar yang dialokasikan berpotensi "bocor" dalam perjalanan distribusinya. Anggaran triliunan rupiah dapat menjadi 'lahan basah' bagi oknum-oknum yang memanfaatkan celah kebijakan untuk kepentingan pribadi.
Pengalaman buruk dari beberapa program bantuan sosial Seperti BPNT menjadi pengingat penting termasuk Kasus pengadaan bantuan sosial (bansos) pada masa pandemi Covid-19 misalnya, mencatatkan adanya korupsi berjamaah hingga merugikan negara miliaran rupiah.
Tiga titik rawan korupsi dalam program makan siang gratis ini meliputi:
1. Pengadaan Bahan Makanan: Proses tender atau pengadaan bahan makanan sering kali menjadi ajang kolusi dan mark-up harga. Oknum dapat memainkan harga dengan pihak-pihak tertentu, sehingga kualitas makanan rendah tetapi anggaran tetap tinggi.
2. Distribusi Logistik: Penyaluran makanan dari pihak penyedia ke sekolah-sekolah juga berpotensi dimanipulasi. Dana distribusi bisa dikorupsi dengan melaporkan biaya yang tidak sesuai kenyataan.
3. Pengawasan di Lapangan: Lemahnya pengawasan di tingkat sekolah membuka peluang bagi oknum untuk memotong anggaran atau mengurangi porsi makanan anak-anak. Sekolah yang minim transparansi sering kali menjadi titik kerawanan penyalahgunaan.
Belajar dari Program Sebelumnya
Beberapa program pemerintah sebelumnya menunjukkan bahwa transparansi dan pengawasan adalah kunci keberhasilan program. Jika mengacu pada program serupa seperti di India dan Brazil, yang sukses menerapkan program makan siang gratis, pemerintah mereka memaksimalkan teknologi dan partisipasi publik untuk meminimalisir korupsi.
Di Indonesia, teknologi digital seperti aplikasi real-time monitoring bisa menjadi solusi. Setiap sekolah dapat melaporkan secara langsung penggunaan anggaran dan distribusi makanan. Selain itu, keterlibatan masyarakat, termasuk orang tua siswa, dalam memantau kualitas makanan juga penting agar tidak ada permainan di tingkat bawah.
Rekomendasi: Transparansi dan Pengawasan Ketat
Agar program makan siang gratis ini benar-benar dirasakan manfaatnya oleh anak-anak Indonesia, berikut langkah-langkah yang perlu diambil:
1. Audit Ketat dan Berkala: Pemerintah harus melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memastikan penggunaan anggaran sesuai prosedur.
2. Transparansi Digital: Gunakan teknologi digital untuk memantau pengadaan, distribusi, dan laporan penggunaan anggaran secara terbuka.
3. Pengawasan Publik: Libatkan organisasi masyarakat sipil dan orang tua untuk memastikan makanan yang diberikan layak dan sesuai standar.
4. Sanksi Tegas bagi Pelaku Korupsi: Penegakan hukum yang tegas perlu diberlakukan untuk memberi efek jera bagi oknum-oknum yang menyalahgunakan dana program.
Program makan siang gratis adalah langkah progresif dan positif untuk meningkatkan kualitas hidup anak-anak Indonesia, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Namun, tanpa pengawasan ketat dan sistem transparansi yang solid, program ini bisa berakhir menjadi skandal korupsi yang merugikan negara dan mengorbankan masa depan generasi muda.
Pemerintah Presiden Prabowo harus memastikan bahwa program ini tidak sekadar janji manis, tetapi benar-benar menjadi solusi bagi perbaikan gizi dan pendidikan Indonesia. Kesuksesan program ini bukan hanya soal anggaran besar, melainkan tentang niat, integritas, dan sistem yang bebas dari praktik korupsi.
(Penulis adalah ketua divisi Hukum Yayasan Bata merah Nusantara)