Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com - Kinerja Anggota DPRD Provinsi dalam mendukung pendidikan tinggi sangat signifikan, terutama melalui pokok pikiran yang telah dirumuskan untuk membantu pembangunan sektor pendidikan secara keseluruhan di Tanimbar.
Pernyataan Samuel Urath, S.Si., M.Pd Wakil Rektor Universitas Lelemuku Saumlaki (UNLESA) dianggap tendensius mengindikasikan kurangnya pemahaman tentang kompleksitas dan kerja-kerja yang dilakukan di Lembaga DPRD Provinsi Maluku.
Tidak hanya itu, hubungan antara lembaga legislatif dan institusi pendidikan tinggi perlu dipahami lebih dalam, mengingat kedua pihak memiliki peran penting dalam menciptakan sinergi yang dapat mendorong peningkatan kualitas pendidikan.
Dukungan dari Melkianus Sairdekut sebagai Anggota DPRD Provinsi dalam bentuk regulasi dan kebijakan strategis sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa visi dan misi pendidikan tinggi dapat tercapai, sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
Dengan demikian, kolaborasi yang terbuka dan konstruktif antara DPRD dan institusi pendidikan harus menjadi prioritas agar pendidikan di Maluku bisa sesuai dengan aspirasi daerah dan kebutuhan era global.
“Aspirasi tersebut merupakan hasil usulan dari Warga Akademik di Kampus, termasuk para dosen, yang diterima dan diperjuangkan oleh Melkianus Sairdekut, wakil ketua DPRD Provinsi Maluku. bantuan hibah sebesar Rp400 juta ini adalah respon terhadap pernyataan Calon Bupati laki-laki Bae, yang dinilai sengaja memfitnah,”ujar Welem Lodarmase selaku Anggota Divisi Kampanye Melkianus - Kelvin.
“Itu Sebagai bentuk balasan yang konstruktif, Bantuan Sosial ini dikerjakan oleh Melkianus Sairdekut saat masih menjabat sebagai Anggota DPRD Provinsi melalui pokok-pokok pikirannya. Jadi, kalau kampanye fitnah yang dikatakan oleh Calon Bupati itu adalah Fitnah. Sekarang dibuka lebar-lebar ke publik barulah diklarifikasi oleh wakil rektor sama seperti membuat materi kuliah curhat di publik,”ungkapnya.
Seyogianya, perguruan tinggi seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis, melainkan harus menjaga sikap netralitas dalam berpolitik. Sebagai lembaga pendidikan yang berfungsi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kampus harus menjadi ruang dimana pemikiran kritis dan objektif dapat berkembang.
Lebih lanjut dikatakan, Ketika sebuah institusi akademis terjebak dalam politik praktis, kondisi ini dapat mengaburkan tujuan utamanya, yaitu memberikan pemahaman yang mendalam tentang sistem politik yang sehat.
Dalam kondisi seperti ini, lembaga akademik yang seharusnya menjadi sumber inspirasi dan pencerahan, bisa terdesak untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mendukung salah satu pasangan calon (Paslon) secara sepihak.
Alih-alih menyajikan argumen yang berimbang dan analisis yang tajam, aktivitas politik mereka justru dapat merugikan integritas akademik, menggiring opini publik, dan mendorong mahasiswa untuk memilih tanpa pemahaman yang menyeluruh.
“Lebih parahnya lagi, jika pihak akademik mulai memobilisasi seluruh mahasiswa untuk mendukung calon yang sesuai dengan agenda lembaga mereka, ini sama halnya dengan menyimpang dari prinsip demokrasi yang sejati,”jelasnya.
Ini menggugurkan nilai-nilai pluralisme dan mengabaikan suara-suara alternatif yang juga memiliki hak untuk didengar. Dengan demikian, lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi jembatan pengetahuan malah berfungsi sebagai alat dalam pertarungan kekuasaan, membongkar desain demokrasi yang seharusnya diupayakan secara adil.
“Dalam jangka panjang, praktik ini bukan hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga memberi dampak negatif bagi masyarakat luas, mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan, dan menciptakan iklim politik yang tidak sehat”. Tutupnya (*)