Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com - Closing statement Calon Bupati Ricky Jauwerissa membuat malu dan ditertawakan oleh masyarakat yang hadir dalam kegiatan debat Paslon yang digelar oleh KPU Kepulauan Tanimbar di Larat Kecamatan Tanimbar Utara.
Wujud asli dan Keinginan untuk mengidentifikasi diri sebagai orang Tanimbar muncul, terutama sebagai figur Calon Bupati yang ingin terhubung dengan akar budaya. Hal ini sering kali dipicu oleh rasa bangga akan warisan budaya yang unik. Namun, dalam prosesnya, terjebak dalam pernyataan sendiri dan tidak dapat dibuktikan.
Sumber-sumber media ini menyebutkan, Ricky Jauwerissa Memaksakan identitas yang menimbulkan krisis dimana mereka merasa tertekan untuk menjawab isu kepada masyarakat bahwa mereka asli orang Tanimbar yang telah ada bersama para moyangnya sejak tahun 1800an akibatnya pernyataan closing statement ini kemudian membuat malu diri sendiri sama seperti Badut.
"Pernyataan Calon Bupati dalam Closing Statement debat Kandidat begini, 'Saya, Ricky Jauwerissa Bersama dr. Juliana Catarina Ratuanak, bersama dengan moyang - moyang saya telah ada di Tanimbar sejak tahun 1800an makan bersama masyarakat Tanimbar minum air bersama dengan masyarakat Tanimbar'. Sebenarnya Umur Calon Bupati Nomor 3 umur berapa Tahun sekarang? Karena sudah ada bersama moyang-moyangnya dari tahun 1800an, Jika hal itu benar-benar terjadi, berarti Umur Calon Bupati Nomor Urut 3 dan para moyangnya yang sudah ada dari tahun itu, telah ada lebih dahulu dari orang Olilit, Saumlaki, Sifnana, Lauran bahkan sebelum Tanimbar ini ada ?"ujar narasumber yang tak ingin dipublikasi namanya dalam pemberitaan.
Lanjut sumber menjelaskan, Calon Bupati Ricky Jauwerissa Memaksakan Identitas Asli Tanimbar agar diterima Publik dan mengkesampingkan 4 Paslon lain yang benar-benar anak asli Tanimbar bakar batu.
"Dampak dari memaksakan identitas Tanimbar bisa beragam, mulai dari rasa kehilangan jati diri hingga kesulitan dalam berinteraksi sosial.
Paslon Nomor 3 seakan mengalami tekanan dan sering merasa terasing, bahkan di antara komunitas mereka sendiri. Hal ini menciptakan dilema, karena ada keinginan untuk diterima sekaligus rasa berat untuk berpura-pura dan mau menunjukan bahwa 4 Paslon yang juga mencalonkan diri sebagai calon bupati dan wakil bupati tidak lebih dari mereka yang mendiami Tanimbar lebih dulu,"ujarnya.
"Keberanian untuk menyatakan diri sebagai putra Tanimbar yang sudah ada sejak tahun 1800an ini akhirnya dihadapkan pada konsekuensi yang tidak terduga mempertontonkan diri sama seperti badut politik,"
Ditambahkan sumber, Ricky Jauwerissa menunjukkan adanya stigma terhadap identitas individu, yang berdampak signifikan pada hubungan sosial dan emosional mereka. Stigma ini menciptakan kompleksitas dalam hubungan antara identitas seseorang dan kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari.
"Terjebak antara tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma budaya dan keinginan untuk tetap setia pada diri sendiri, memaksakan kehendak untuk menghormati Budaya Tanimbar,"jelasnya.
Dalam konteks ini, memaksakan diri untuk menghormati budaya Tanimbar dalam keadaan terpaksa untuk menciptakan ruang yang aman bagi ekspresi identitas dalam debat. Menjaga keaslian diri di tengah lingkungan yang normatif dapat menjadi tantangan, namun hal ini dilakukan untuk menyembunyikan identitasnya untuk mengurangi rasa tertekan dan memperkuat hubungan antaranggota masyarakat. Tutupnya.(*)