Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com - Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan bahwa partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD dapat mengusung calon kepala daerah. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan yang mendalam dan menanggapi gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora. Putusan ini tertuang dalam nomor 60/PUU-XXII/2024, yang menandai babak baru dalam dinamika politik di Indonesia.
Pada putusannya, MK menilai Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada yang menyatakan bahwa partai politik harus memiliki setidaknya 25% suara sah untuk mengusung calon di legislatif adalah inkonstitusional. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan bahwa penerapan pasal tersebut dapat mengancam prinsip demokrasi, karena membatasi partisipasi partai politik dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.
Keputusan ini membuka peluang bagi lebih banyak partai untuk mengajukan calon, mendorong munculnya variasi dalam pilihan pemimpin daerah. Dalam konteks yang lebih luas, langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dengan memberi ruang bagi suara-suara yang mungkin terpinggirkan. Dengan adanya keputusan ini, MK mendukung penguatan sistem multi-partai yang memberikan keberagaman dalam penggambaran aspirasi masyarakat.
Kedepannya, kita akan melihat dampak dari keputusan ini dalam pemilihan kepala daerah selanjutnya. Publik akan merasakan perubahan pada dinamika politik, di mana calon-calon dari berbagai latar belakang dan ideologi dapat bersaing secara adil. Ini merupakan langkah penting menuju demokrasi yang lebih inklusif dan representatif.
Judicial review mengenai norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 menunjukkan betapa pentingnya menjaga integritas demokrasi di Indonesia. Menurut Enny, jika norma tersebut dibiarkan berlaku, akan ada potensi ancaman terhadap proses demokrasi yang sehat. Pasal ini terkait dengan pembatasan partisipasi politik, yang dapat mengurangi ruang bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam pemilihan umum. Sebagai konsekuensinya, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan dapat terancam. Oleh karena itu, evaluasi dan peninjauan kembali terhadap undang-undang ini menjadi penting demi menjaga fondasi demokrasi yang kokoh di tanah air.
Dalam proses pemilihan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, terdapat syarat yang ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap. Syarat ini sangat penting untuk menjamin bahwa calon yang diusung memiliki basis dukungan yang cukup dari masyarakat. Misalnya, untuk provinsi dengan populasi sampai dengan 2 juta jiwa, sebuah partai atau gabungan partai harus meraih minimal 10 persen suara sah untuk dapat mengusulkan calon.
Ketentuan ini berkurang seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pada provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta hingga 6 juta, persentase suara yang diperlukan menjadi 8,5 persen. Demikian pula, untuk provinsi yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 6 juta hingga 12 juta, ambang batas suara sah adalah 7,5 persen, dan untuk di atas 12 juta, persentasenya menjadi 6,5 persen.
Hal serupa juga berlaku untuk pemilihan bupati dan walikota, di mana untuk daerah dengan jumlah penduduk di atas 250 ribu, partai harus mendapatkan minimal 10 persen suara. Syarat ini terus menurun dengan bertambahnya populasi, menjadi 8,5 persen untuk jumlah penduduk di antara 250 ribu hingga 500 ribu, 7,5 persen untuk 500 ribu hingga 1 juta, dan 6,5 persen di atas 1 juta.
Sistem ini menciptakan iklim persaingan yang sehat antarpartai politik serta mendorong mereka untuk lebih mendengar aspirasi masyarakat. Dengan adanya threshold seperti ini, diharapkan para calon pemimpin dapat benar-benar mewakili suara rakyat dan menjamin bahwa pemilu dapat berlangsung secara adil dan demokratis. (Nik Besitimur)