Foto Karikatur |
Oleh : Nik Besitimur (Jurnalis Media Jurnal Investigasi)
Kapitalisme di Tanimbar saat ini telah memasuki fase yang mengkhawatirkan, di mana sekelompok elit bisnis mulai membangun kekuatan ekonomi yang sangat menguatkan pengaruh mereka dalam mengejar Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) serta kontrol terhadap aset-aset tidak bergerak. Fenomena ini menciptakan ketidakadilan yang jelas bagi masyarakat Tanimbar. Rakyat yang seharusnya menjadi pemilik sah tanah dan sumber daya di daerahnya ternyata terdesak dan terpinggirkan dalam proses pembangunan.
Elit kapitalis ini tampaknya tidak puas dengan apa yang dimiliki mereka saat ini, melainkan terus menerus berusaha memperluas kekayaan dan kekuasaan melalui berbagai cara, seringkali tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. Pembangunan infrastruktur dan proyek-proyek komersial lebih banyak menguntungkan segelintir orang daripada masyarakat luas. Hak kesulungan masyarakat lokal diabaikan, dan lahan yang semestinya digunakan untuk keberlangsungan hidup masyarakat, malah dialokasikan untuk kepentingan private yang sangat profit-oriented.
Kondisi ini mengundang kekhawatiran mengenai keberlanjutan sumber daya di Tanimbar. Masyarakat yang berjuang untuk mempertahankan hak-haknya sering kali terpaksa menelan pahitnya kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan modal. Dengan semakin kuatnya pengaruh kapitalis, sulit bagi rakyat biasa untuk mengakses hak-hak dasar mereka, dan dampaknya hanya memperburuk ketimpangan sosial yang ada. Di sinilah tantangan besar bagi komunitas Tanimbar, untuk tetap bertahan dan memperjuangkan hak mereka di negerinya sendiri.
Di pulau Tanimbar, para kapitalis telah menjadikan kekayaan sebagai tujuan utama dalam berpolitik. Mereka berupaya menguasai sumber daya alam yang melimpah di wilayah tersebut, seperti hasil laut dan perkebunan, untuk memperkaya diri mereka sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat lokal. Masyarakat Tanimbar yang memiliki kearifan lokal dan cara hidup yang harmonis dengan alam sering kali dipinggirkan dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut tanah dan sumber daya yang mereka huni dan jalani.
Ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan sering kali muncul di kalangan penduduk asli, yang merasa bahwa kekayaan yang dihasilkan dari tanah mereka tidak kembali untuk kesejahteraan mereka. Para kapitalis ini, yang hanya memikirkan keuntungan jangka pendek, acapkali merusak ekosistem lokal, sehingga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat Tanimbar yang bergantung pada alam. Policy politik dan praktik korupsi sering menjadi senjata dalam memuluskan kepentingan mereka, yang menambah kompleksitas permasalahan.
Tanimbar seharusnya bisa menjadi simbol keberlanjutan dan kemandirian bagi penduduknya. Namun, apa yang terjadi saat ini menunjukkan betapa mereka terjebak dalam lingkaran kebijakan yang tidak berpihak. Untuk mengubah keadaan ini, dibutuhkan kesadaran kolektif dari masyarakat dan dukungan dari semua pihak untuk mengejar keadilan dan hak-hak atas tanah yang telah menjadi sumber kehidupan mereka selama berabad-abad. Tanpa upaya tersebut, para kapitalis yang rakus akan terus bergerak, meninggalkan jejak kerusakan dan ketidakpuasan yang mendalam.