-->

Notification

×

Iklan

Perang Pasifik Dan Awal Pendudukan Jepang di Somlaki, 1942

07 Juni 2024 | 10:52:00 AM WIB | 0 Views Last Updated 2024-06-07T04:57:26Z
Kisah Monumental Sersan Julius Tahija, Dkk., di Pantai Laut Somlaki, 30 Juli 1942



Penulis: Agustinus Rahanwarat

Artikel ini tidak sepopuler tulisan kehadiran Presiden Indonesia pertama Ir. Soekarno di Somlaki, selasa 4 November 1958, yang saya tulis setelah catatan tangan dari Des Alwi saat Seminar Bela Negara tahun 2001 di Hotel Borobudur Jakarta. Namun sesungguhnya cerita dibalik perang pasifik dan awal pendudukan Jepang di Tanimbar ini perlu diketahui generasi sekarang dan akan datang. Ini kisah heroik sang legenda penuh warna; sersan Julius Tahija bersama anak buahnya yang melakukan pertempuran singkat dibantu penduduk lokal di pantai laut Somlaki, 30 Juli 1942. Patutlah kisah ini menjadi inspirasi tersendiri dan supaya diketahui oleh masyarakat Tanimbar agar dikenang sepanjang masa.


Dalam bukunya Womack Tom (2006) 'The Dutch Naval Air Force Against Japan: The Defense Of Netherlands East Indies. N.C: McFarland dan biografinya Julius Tahija, 'Melintas Cakrawala', Somlaki turut dikisahkan dalam suatu pertempuran singkat menghadang datangnya tentara Jepang pada akhir Juli 1942. Aksi penuh heroik itu adalah bagian dari perang pasifik yang dimulai pada awal Desember 1941. Sebutan ABDACOM adalah American, British, Dutch, Australian, Company; yang kita kenal sebagai kelompok sekutu dengan kekuatan besarnya menghadapi Jepang yang ingin menguasai Asia yang menjadikan Indonesia tak nyaman karena rebutan penjajahan dengan sistem kolonialisasi.

Peristiwa perang pasifik dari banyak sumber cerita sejarah tentang pertempuran sengit di Ambon yang dimulai dari Januari-Februari 1942 dengan pemimpin perang John Scott dan J. R. L. Kapitz hingga penugasan terhadap sersan Julius Tahija, dkk., yang merupakan tentara hindia Belanda atau KNIL yang berada di Australia untuk memasuki wilayah Tanimbar yang berdekatan dengan Australia bagian utara. Jepang dengan armada tempur dibawah komando Ibo Takahashi (Angkatan Laut) dan Takeo Ito (Angkatan Darat) menggempur pasukan sekutu dari Laha, Passo hingga Halong. Ambon seakan dikuasai Jepang. Strategi ini menjadi sasaran seluruh daerah di wilayah timur Indonesia, termasuk di Somlaki, Tanimbar.

Misi ke Tanimbar melalui perintah tertulis kepada sersan Tahija, Mohamad Sajoeti, Wongsodinomo, Ponikromo, dkk., yang jumlahnya hanya 13 personil itu tiba di Somlaki pada pertengahan Juli 1942 menumpangi kapal tua Griffioen yang hanya memiliki senapan dek ringan. Bersama penduduk lokal yang jumlahnya terbilang sangat sedikit namun mereka siap menghadapi gelombang pertempuran bila pasukan Jepang tiba di Somlaki.

Sersan Tahija dalam tulisannya menceritakan pada tanggal 30 Juli 1942, sekiranya jam 4.00 subuh, 2 buah kapal perontok ditambah 1 buah kapal biasa milik pasukan Jepang telah berada di pintu teluk Somlaki. Menggunakan perahu-perahu kecil, pasukan bersenjata lengkap Jepang mulai menuju pantai laut Somlaki. Saat air pasang setinggi lutut, mereka mulai berjalan membentuk barisan panjang dan perlahan menuju daratan Somlaki. Namun saja langkah kaki mereka serentak dihujani dua senapan mesin MG oleh 13 pasukan KNIL pimpinan sersan Julius Tahija. Baku tembak singkat itu membuat pasukan Jepang kocar-kacir dan berlari kembali ke perahu mereka dan segera menuju kapal perontok yang masih parkir di pintu teluk Somlaki. Tembakan-tembakan yang tak hentinya itu tidak hanya mengusir pasukan Jepang, melainkan banyak diantara mereka yang seketika itu juga tewas dan kapal-kapal itu pun meninggalkan Somlaki pada pagi harinya. Besoknya tanggal 31 Juli, pasukan Australia Flover Force memasuki wilayah di Somlaki namun usaha mereka gagal. Dua buah kapal Southern Cross dan Chinampa yang tiba di Somlaki pun dihajar pasukan Jepang menyebabkan komandan pasukan asal Australia itu pun tewas, jumlah mereka diatas 80 orang tentara. Kapal Southern Cross dan Chinampa meninggalkan Somlaki dan kembali ke Darwin, Australia. Pasukan mereka tertinggal 50 orang tentara saja. Mereka kalah dengan jumlah pasukan Sersan Tahija yang beranggotakan 13 orang, 6 diantaranya tewas dan 7 orang lainnya termasuk Sersan Tahija berhasil masuk ke hutan di wilayah Somlaki dan kemudian dibantu beberapa warga setempat mereka mendapatkan sebuah perahu layar milik orang Bugis, dan kembali ke Australia. Saat tiba di Australia, sersan Tahija beserta 6 anak buahnya disambut riuh publik Australia. Mereka dijagokan karena berhasil menghalau kapal perontok milik pasukan Jepang. Mereka antara lain, sersan Julius Tahija, Ranamedja, Wongsodinomo, Mohamad Sajoeti, Pamjas, Ponikromo. Mereka dianggap sebagai pahlawan oleh kelompok sekutu diawal perang pasifik itu. Pantai laut Somlaki ternyata memberi kenangan tersendiri bagi Julius Tahija. Ia kemudian mendapat penghargaan tertinggi dari Kerajaan Belanda, Ridders Der Militaire Willems Orde (Penghargaan setingkat Victoria Cross di Inggris dan Congressional Medal Of Honor di Amerika Serikat) sedangkan anak buahnya mendapat penghargaan Bronzen Cruis (Salib Perak) dari Ratu Juliana Belanda (Sumber: Koran The Argus Melbourne, Australia, 28 Oktober 1942). Mereka yang hidup kemudian ditarik dalam sebuah misi berbahaya bernama Z Force.

Setelah perang berakhir, Tahija terpilih sebagai anggota kabinet Negara Indonesia Timur dan aktif pada diplomasi konferensi meja bundar di Den Haag, Belanda, tahun 1949. Jenderal TB Simatupang kemudian merekomendasikan Julius Tahija bergabung dengan kesatuan TNI dan melantiknya dengan pangkat letnan kolonel, namun 2 tahun kemudian, ia mengundurkan diri dari TNI dan diajak Presiden Soekarno bergabung dengan perusahaan minyak dan gas Amerika, Caltex, yaitu sebuah perusahaan joint venture antara Chevron dan Texaco Corps. Sosok pendiri PT. Freeport Indonesia Inc (1970) ini pernah mendapat tugas sebagai Menteri Pertambangan di era Presiden Soeharto dan pada tahun 1994 dianugerahi bintang utama Nararya dari pemerintah Indonesia. Saat pensiun, Julius Tahija pernah berlibur ke Somlaki menumpangi pesawat Merpati dari Ambon, dan saat berada di Somlaki ia mengenang penuh masa mudanya tatkala dihadapkan dengan tentara Jepang dengan pertempuran singkat 30 Juli 1942 di pantai laut Somlaki.

Kehebatan yang ditunjukan pasukan tentara Hindia Belanda (KNIL) pimpinan sersan Julius Tahija lantas tak diceritakan resmi dalam buku sejarah bangsa ini. Tahija menuliskannya dalam otobiografinya dan beberapa artikel ditulis wartawan Tempo serta sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Menurut saya, kepahlawanan mereka terjadi karena kepentingan sekutu (ABDACOM), dan bukan untuk kepentingan bangsa Indonesia, apalagi mereka adalah tentara KNIL buatan pemerintah Belanda. Namun sebagai orang Tanimbar patutlah kisah ini diabadikan melalui monumen bersejarah yang mengisyaratkan bahwa posisi Kepulauan Tanimbar berada di lintasan strategis terutama dalam alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) sehingga menjadi daya tarik bangsa-bangsa lain termasuk pendudukan Jepang yang dimulai tahun 1942 di wilayah Kepulauan Tanimbar. Pendudukan Jepang yang berlangsung di Kepulauan Tanimbar sungguh terasa dengan kekejaman dan penindasan bahkan terkait korban dan keluarga korban kekerasan sexual tentara Jepang zaman penjajahan Jepang sudah didatakan oleh seorang aktivis perempuan. Sebuah gua yang dipaksakan dibuat oleh penduduk Somlaki sebagai bagian dari pusat operasi Jepang di Somlaki yang terletak di jalan Gajah Mada RT. 002/03 (Sekarang) menjadi saksi bisu kekuasaan tak manusiawi dari kaki tangan Kaisar Hirohito pada periode perang di masa itu. Di pulau Selaru dibangun sebuah lapangan udara tempur oleh rakyat setempat yang dipaksakan oleh pasukan Jepang di sebuah desa yang strategis (Lingat) untuk pertahanan tentara Jepang bila mendapat serangan udara pihak sekutu. Hal ini dapat dibuktikan dengan lokasi lapangan udara yang kini telah dikuasai oleh TNI Angkatan Udara dan banyak bunker yang masih terlihat sampai saat ini. Awal pendudukan Jepang di Somlaki dan bukti kekerasan sexual tentara Jepang adalah sejarah kelam yang tak boleh dilupakan dan kisah heroik sersan Tahija dkk., patut diabadikan dalam sebuah monumen bersejarah, selain telah memiliki sebuah nama jalan di simpang tiga atas Gereja Katolik St. Matias Somlaki.
×
Berita Terbaru Update