Adv Sunoko,SH (foto/dok.Sunoko,SH) |
EDITORIAL, Dalam Rentang waktu 3 Minggu ke depan, Hajat Demokrasi 5 tahunan Indonesia akan hadir, rakyat akan mendatangi TPS di tempat masing-masing untuk menentukan pemimpin Bangsa ke depan.
Namun menjadi pertanyaan semua pihak apakah pemilu tahun ini akan berjalan adil dan tidak ada kecurangan ketika anak presiden turut serta dalam pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia.
Ikut serta nya Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo di nilai banyak pihak sebagai politik dinasti keluarga Jokowi,
10 tahun berkuasa di rasa belum cukup sehingga Jokowi mendorong anak nya untuk ikut menjadi cawapres.
Keikutsertaan Gibran juga di nilai banyak pengamat politik sebagai bentuk cacat nya demokrasi di era pemerintahan Jokowi, pelanggaran etika oleh keputusan mahkamah konstitusi yang di duga adalah salah satu upaya meloloskan Gibran untuk menjadi cawapres.
Dengan bapak nya masih menjadi seorang presiden, siapa bisa menjamin pemilu akan berjalan Adil dan tidak ada kecurangan,
Potensi penyalahgunaan wewenang, terbajaknya sistem demokrasi, hingga ancaman suburnya politik dinasti dinilai oleh pengamat politik akan mewarnai jalannya Pilpres 2024, menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia.
Penilaian itu muncul karena putusan MK terkait uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu memberi ruang bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres) saat bapaknya, Joko Widodo, masih menjabat dan berkuasa sebagai presiden pada waktu pemilihan, yaitu 14 Februari 2024.
Ketidakjujuran dan ketidakadilan selalu membayangi setiap kompetisi demokrasi. Bayang-bayang itu semakin gelap ketika orang yang bertanggung jawab untuk memastikan pemilu jujur dan adil punya keberpihakan, tidak netral. Ketika dia imparsial saja, kecurangan pasti ada, apalagi jika parsial.
Itulah yang menjadi pertanyaan sekaligus kekhawatiran akan sejujur apa, seadil apa, pilpres mendatang. Pertanyaan itu wajar, sangat wajar, kian menguat karena ada indikasi Presiden tidak netral. Kekhawatiran itu sah-sah saja lantaran Jokowi kian terang menunjukkan keberpihakan.
Memang, berulang kali Presiden berjanji akan netral. Berulang kali pula dia memerintahkan seluruh aparatur negara untuk bersikap yang sama. Pun kepada TNI-Polri yang berada langsung di bawah kendalinya, Jokowi menegaskan hal serupa.
Janji itu, instruksi itu, penegasan itu bagus, tetapi tidak cukup. Ia hanya akan punya arti jika tidak berhenti sebatas kata-kata, tetapi diwujudkan dalam realitas. Ia akan menjadi vitamin kontestasi jika antara ucapan dan tindakan selaras di lapangan, sebaliknya bakal menjadi racun kalau berseberangan.
Sayangnya, semua itu cuma seharusnya, hanya idealnya. Faktanya, ada potensi besar bahwa yang diucapkan akan berbeda dengan yang dilakukan. Presiden berjanji akan netral, tetapi situasi sangat memungkinkan dia tidak netral. Keberadaan sang putra sulung, Gibran Rakabuming Raka, sebagai bakal calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto ialah penyebabnya.
Bagaimana kita percaya 100% bahwa Presiden tidak akan berpihak jika anaknya menjadi pemain?
Jokowi pernah mengatakan anaknya tak logis untuk ikut berkontestasi sebagai cawapres, tapi kenyataannya kemudian Gibran mencalonkan diri. Pencalonannya kental dengan dugaan ketidaknetralan, ketidakjujuran. Gibran bisa maju setelah dihamparkan karpet merah oleh sang paman, eks Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, dan Jokowi merestui.
Kalah atau menang ialah hal biasa dan bisa lebih mudah diterima jika kompetisi demokrasi bergulir jujur dan adil. Jika sebaliknya, ia akan menyisakan bara.
Ini menjadi kekhawatiran banyak pihak ketika politik dinasti di benarkan maka demokrasi hanya akan tinggal nama saja yang ada hanyalah sistem yang mengadopsi sistem "monarki"
Kunci pemilu jujur dan Adil ada di Tangan Jokowi, apakah sayang rakyat atau kah sayang mas gibran (*)
(Penulis adalah Advocat dan juga pemimpin Redaksi media jurnal investigasi)