-->

Notification

×

Iklan

Ricky Jauwerissa Bongkar Skandal “Korupsi” Anggaran SPPD Fiktif di Persidangan

15 Desember 2023 | 8:48:00 PM WIB | 0 Views Last Updated 2023-12-16T07:49:52Z

Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com - Dalam persidangan pemeriksaan saksi terkait kasus penyalahgunaan SPPD fiktif BPKAD KKT yang merugikan negara senilai Rp6,6 miliar, terdapat beberapa saksi yang dihadirkan.


Saksi-saksi tersebut antara lain mantan Bupati Petrus Fatlolon, mantan Ketua DPRD Jaflaun Batlayeri, Wakil Ketua I DPRD Jidon Kelmanutu, Wakil Ketua II DPRD Ricky Jauwerissa, Ketua Komisi B Apolonia Laratmase, dan anggota DPRD Piet Kait Taborat.


Persidangan ini bertujuan untuk mengungkap kebenaran terkait keterlibatan para saksi dalam penyalahgunaan SPPD fiktif tersebut. 


Fakta-fakta dalam persidangan akan menjadi dasar bukti yang dapat digunakan untuk menentukan tindakan hukum selanjutnya terhadap para terdakwa.


Sidang yang berlangsung di Gedung Chandra PN Ambon, Jumat 15 Desember 2023, dipimpin oleh Hakim Haris Tewa. Dimana dibuka dengan keterangan saksi dari Piet Kait Taborat.


"Nama kelima orang ini adalah dalam persidangan. Untuk Petrus Fatlolon, disebut namanya oleh Ricky Jauwerissa, sampai kondisi dimana terjadi kesepakatan untuk anggaran SPPD Fiktif Rp9 miliar untuk Forkopimda. Jika ada nama hakim, silahkan sebutkan saja," intro Hakim Tewa di awal persidangan.


Kesempatan diberikan kepada kuasa hukum terdakwa Anthony Hatane. Hatane bertanya kepada Piet Kait Taborat apakah dalam pembahasan APBD 2019 di tahun 2020 apakah terjadi deadlock? Dan era itu siapa bupatinya? 


Mendapat serangan pertanyaan diawal, membuat anggota DPRD 4 periode ini sempat panik dengan menjawab bahwa tidak ada deadlock dan era itu Petrus Fatlolon bukan lagi bupati. 


Hakim pun memberikan ruang kepada Ricky Jauwerissa cs, dimana mereka membenarkan bahwa ada peristiwa deadlock. Pertanyaan kemudian dilanjutkan oleh PH Anthony Hatane sehubungan dengan isi chat Piet Kait Taborat pada salah satu WhatsApp Grup terbatas yang membenarkan bahwa ada aliran dana senilai Rp400 juta kepada salah satu anggota DPRD yang kemudian dibagi ke para anggota dewan yang ada dalam Badan Anggaran (Banggar).


"Benar ada percakapan itu saat ramai pembahasan tentang DPRD. Uang itu diambil oleh Apolonia Laratmase dan diserahkan kepada Jidon Kelmanutu Rp150 juta dan sisanya dibagi ke anggota Banggar. Tetapi tidak semua anggota Banggar menerima itu," tandas Piet Kait.


Hatane kemudian melanjutkan ke Jaflaun, Apolonia, Ricky, Jidon yang kompak membantah keterangan dari Piet Kait bahwa mereka sama sekali tidak tahu-menahu tentang uang yang disebutkan itu. Bahkan Jaflaun yang dituding oleh Piet Kait sebagai sumber informasi, dengan lantang menjelaskan bahwa dirinya mengatasi persoalan tersebut pasca rekannya Apalonia dipanggil jaksa untuk diambil keterangannya. 


Hatane kembali mengarahkan pertanyaan ke Ricky. Yang menanyakan tentang adanya deadlock dan berujung 2 Fraksi DPRD saat itu walk out dari ruang sidang DPRD. 


"Bupati Petrus Fatlolon bilang, teman-teman semua kita amankan LPJ 2020 yang dibahas di 2021. Jadi bukan seperti yang disampaikan bahwa saya ke rumah bupati tahun 2020, tetapi di 2021," tandas Ricky menjawab pertanyaan Hatane. 


Kesempatan diberikan kepada Petrus, yang memberikan keterangan bahwa terhadap pertanggungjawaban APBD 2019, dirinya menugaskan Sekda Ruben B Moriolkossu, yang kalah itu masih berstatus pelaksana tugas, mengingat tahun 2020 baik Ruben maupun terdakwa Yonas sama-sama sementara merebut posisi sekda definitif. 


"Saya tugaskan Ruben dan TAPD, mereka laporkan ke saya bahwa ada deadlock dan akan dikomunikasikan. Dan Ketua DPRD Jaflaun sampai ke saya bahwa ada jalan keluar.


Alhasilnya, saling konfrontir antara Petrus maupun DPRD. Bahkan Petrus menyampaikan bahwa dirinya siap membuktikan baik melalui CCTV rumah maupun kantor serta risalah persidangan yang dibawahnya saat itu. 


Namun pernyataan Petrus itu langsung disanggah langsung oleh Jaflaun. Dimana dirinya menjelaskan bahwa Bupati Petrus yang memanggil dirinya untuk bertemu dan menanyakan tentang perkembangan di DPRD dan dalam pertemuan itu, tidak pernah dirinya meminta atau menyebutkan sepeserpun uang. Petrus pun menyanggah keras pernyataan Jaflaun itu, dengan membeberkan bahwa setiap sebelum pembahasan RAPBD, DPRD selalu datang menemui dirinya.


"Tiap ada masalah, DPRD ini datang dan berkata kaka ini mesti cari solusi. Dan saya jawab silahkan koordinasikan dengan sekda dan TAPD," terang Petrus yang dibenarkan oleh terdakwa Yonas. 


Mendengar penjelasan panjang lebar dari para saksi maupun terdakwa, Hakim Tewa pun berkata "dapat sudah. JPU dan PH, ini jalan ceritanya sudah masuk, bahwa ada deadlock," singkat Hakim Tewa memberikan petunjuk.


Mendengar bantahan penolakan baik dari Petrus dan 5 Aleg, Hakim Tewa mengatakan bahwa dari pengakuan semuanya ini tidak ada yang benar. Harus fokus dan berpatokan pada cerita Ricky Jauwerissa pada sidang-sidang sebelumnya. Sebab lanjut Hakim, apabila Sekda Ruben B Moriolkossu dihadirkan sebagai saksi, maka akan membuka lagi fakta baru. 


Sidang terus bergulir, PH terdakwa terus melontarkan pertanyaan kepada saksi Petrus tentang adanya laporan terdakwa Yonas kepada sekda dan bupati bahwa semuanya telah beres alias tuntas.  Mendapat pertanyaan itu, Petrus mengaku kalau TAPD mendatangi dirinya dan menyampaikan bahwa semuanya telah "Beres" dan telah dijadwalkan paripurna.


"Saya prediksi tidak ada makan siang yang gratis," tandas Petrus. 


Hatane masih bertanya juga untuk Petrus, apakah dirinya pernah memerintahkan Yonas untuk membuat kebijakan SPPD fiktif tahun 2020. Bahkan dalam BAP Kristina Sermatang (Bendahara BPKAD) menyebutkan bahwa Petrus Fatlolon ada menerima sejumlah uang dengan nominal bervariasi, yang diserahkan Kristina kepada Yonas dan Yonas melanjutkan ke Petrus. 


"Dengan rincian uang ke Petrus yakni Rp50 juta, Rp30 juta, Rp50 juta, Rp100 juta, Rp25 juta dan Rp15 juta dalam tahun 2020," beber Hatane dihadapan persidangan.


Petrus pun membantah dengan menyangkal bahwa tidak benar apa yang dituduhkan kepadanya sebagai pihak penikmat uang korupsi ini. Dengan berdalih bahwa dirinya tidak pernah berkomunikasi dengan bendahara (Kristina) maupun Yonas untuk meminta sejumlah uang. Hal inipun dibantah Yonas bahwa tidak ada uang yang mengalir ke Petrus selaku bupati. 


Kesempatan diberikan Hakim kepada JPU, yang mengungkapkan fakta yang ditemukan penyidik bahwa ada aliran uang ke BPK RI guna Memuluskan pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dengan iming-iming bonus Dana Insentif Daerah (DID) dengan nilai puluhan miliar.


Tak pelak, Petrus terus membantah setiap fakta yang disampaikan kepadanya. Dengan membangun kembali alibi bahwa BPK yang datang ke KKT, hanya menemui dirinya dengan menunjukkan surat tugas bahwa BPK akan melakukan audit pendahuluan. Sedangkan menyangkut bonus DID, dirinya mengaku tidak ingat besaran nilainya. 


Bahkan, tudingan bahwa oknum BPK yang melakukan nego dengan dijembatani kepala Inspektorat ke Yonas dan disampaikan ke Petrus. Dibantah Petrus bahwa temuan-temuan BPK itu disampaikan secara tertulis dan biasanya BPK akan mengirimkan hasil auditnya kepada dirinya. Dimana BPK memberikan waktu kepada Pemda 14 hari untuk menindaklanjuti temuan-temuan BPK.


"Saya selalu disposisi ke Sekda. Secara detail tidak terkait permintaan oknum BPK. Yang disampaikan BPK ke saya hanya tentang dinas mana saja yang administrasinya lambat," ujar Petrus yang mengaku tidak pernah ada pembicaraan mengenai uang Rp350-450 juta. 


Petrus kemudian dikejar lagi oleh JPU yang mempertanyakan apakah BPKAD di era itu terdapat temuan yang dibenarkan Petrus bahwa masa itu hampir semua dinas terdapat temuan oleh BPK. Namun lagi-lagi, pemberian uang ke BPK, dirinya tidak tahu-menahu. Namun dirinya bangga ketika Laporan Keuangan Pemda KKT di masa kepemimpinannya mendapat opini WTP, keluar dari predikat Disclaimer. 


Ditanyakan bagaimana dengan uang untuk Forkopimda, Petrus mengelak dengan menuding bahwa ada politik adu domba terhadap dirinya dengan Forkopimda, mengingat dirinya akan kembali mencalonkan diri pada pilkada KKT 2024 mendatang. 


Bahkan Petrus justru menuding balik DPRD, bahwa meminta anggarannya ditambah, Karena, masalah utama ada pada deposito pada tahun 2020 yang membuat hingga terjadi deadlock.


"DPRD fitnah bahwa bunga deposito itu masuk ke rekening pribadi saya," ucap Petrus.


Kendati membantah secara tegas bahwa DPRD tidak pernah menerima aliran uang SPPD fiktif ini. Namun ke-5 Aleg ini membenarkan bahwa terjadinya deadlock karena pembahasan hingga penetapan APBD di tahun itu telah melompati tahapan. 


Hakim Tewa kembali membuka ruang bagi Ricky Jauwerissa untuk mempertegas pernyataannya kembali tentang angka penetapan nilai SPPD tahun 2020 yang dirasionalisasi dan disepakati DPRD senilai Rp1,5 miliar. Namun diubah sepihak dengan tetap mempertahankan Rp9 miliar.


"Ricky Jawerisa hanya datang ke saya untuk sampaikan keperluan mereka DPRD dan terkait pernyataannya tersebut, bisa dilihat pada postur APBD," ujar Petrus yang mengkonfrontir pengakuan Ricky.


Alhasilnya, Hakim Tewa langsung, mempersilahkan JPU untuk mengusut hal ini, lantaran telah ada fakta-fakta baru.


"Untuk masalah ini, JPU silahkan. Sudah ada fakta-fakta baru. Sudah kaya Drakor saja," tandas Hakim Tewa. 


Hakim Tewa pun melanjutkan, dengan mempertanyakan kepada ke-6 terdakwa apakah ada aliran dana yang mengalir ke bupati. Namun seperti kompak, mereka para terdakwa ini tidak mengakui aliran tersebut. Hanya di akhir, Terdakwa Erwin Laiyan, mantan Kabid Aset menyebutkan bahwa terdapat kebijakan-kebijakan yang akhirnya mendorong pihaknya harus memotong anggaran. Namun uang-uang itu tidak mengalir di dalam bidangnya.


"Uang itu lari ke tempat lain, maka tiap saat kami buat SPPD fiktif," tandas Erwin. 


Sebelum menutup persidangan ini, Hakim Tewa sempat bertanya kepada kepada mantan bupati, dari kondisi yang ada ini, pelajaran apa yang dipetik oleh Petrus selaku mantan bupati terhadap 6 ASN yang kini telah menjadi terdakwa. Sebab bagi Hakim Tewa, dirinya menilai Petrus Fatlolon gagal sebagai pemimpin di KKT yang daerah ditetapkan sebagai kabupaten dengan kemiskinan ekstrim. 


"Bapak, bagi saya gagal. DPRD juga harus merubah mental. Semuanya akan terbuka ketika Sekda hadir," ungkap Hakim Tewa.


Di Akhir persidangan, Hakim Tewa memutuskan sidang pekan depan Jumat 22 Desember 2023 dengan agenda pemeriksaan para terdakwa dan saksi mahkota. 


"Persiapkan diri," pesannya menutup persidangan. (Nik Besitimur)

×
Berita Terbaru Update