Tarakan, Jurnalinvestigasi.com — Masih di seputar pemberitaan terkait dugaan pencemaran air akibat tumpahan minyak yang menyengat lantaran kebocoran pipa Pertamina di RT 18 Gang Jagung Kelurahan Karang Harapan.
Tumpahan minyak dari kebocoran tersebut tentu berdampak merugikan petani sekitar yang tak bisa memanfaatkan air sekitar drainase akibat tercemar. Selain aroma tumpahan minyaknya yang menyegat, juga akan membunuh tanaman petani sekitar.
Usai Yakob Samperuru dikonfirmasi via telepon (Jum'at 02/09/22), mengaku belum mendapatkan kompensasi sebagai bentuk tanggungjawab dari pihak Pertamina, kemudian awak media melanjutkan menemui Yacob di kebun guna memastikan apa saja jenis bantuan yang datang yang diserahkan oleh penyuluh pertanian bernama Wijaya, sekaligus melihat langsung kondisi lapangan, serta keterangan lainnya yang disampaikan Yacob di telepon.
Jenis bantuan tersebut sudah sesuai dengan keterangannya di telepon, yakni cuma dikasih pupuk mutiara 1 karung dan 2 karung kapur yang diantar oleh Wijaya. Tidak ada ganti rugi dalam bentuk uang.
Saat Yacob ditanya apa yang disampaikan oleh pak Wijaya ketika berkunjung untuk memberikan pupuk dan kapur? Tak disangka ada kesan dugaan intervensi.
"Pak Wijaya bilang, tidak usahlah banyak omong lagi kalau ada wartawan datang, karena katanya sudah 'dianu' sama Pertamina. Tapi karena bapak (awak media) datang, ya terpaksa ngomonglah. Karena kita juga kena eh. Ini selama kena minyak itu sudah rusak, kuning-kuning daunnya.
Entah apa yang menjadi ketakutan Wijaya, padahal justru lebih bagus jika keterangan Yacob bisa diekspos media semisal tentang bagaimana tanggungjawab pihak Pertamina, kompensasinya sudah memuaskan hak petani yang kebunnya tercemari tumpahan minyak.
"Ini minyak (sambil menunjuk parit kebunnya), kalau hujan ini, sakit. Ini minyak kalau tidak ada air, minyaknya turun ke tanah, tapi kalau ada air itu naik," keluh Yacob.
"Sampai terendam terus itu, kalau hujan itu naik lagi minyaknya, makanya saya bungkus rumput kering supaya minyaknya lengket di rumput. Jangan sampai tembus ke tanaman, makan saya punya akar tanaman," imbuhnya dalam keluh.
Yacob mengaku sumber pendapatannya untuk menutupi kebutuhan sehari-sehari bersama keluarganya itu hanya berharap dari hasil kebunnya saja.
""Kami ini hanya petani kasihan, bagaimana caranya supaya kehidupan bisa bersambung. Berharap hanya dari tanaman ini, karena kami bukan pekerja yang dapat tunjangan gaji bulan-bulan," keluh Yacob lagi.
"Saya kasih masuk pupuk kandang aja mati Rp.2 juta. Kasih masuk 40 karung, bulan-bulan itu. Harga pupuk sekarang itu Rp.50 ribu / karung. Nah kalau sudah mati, apa yang mau dimakan, aduh. Makanya saya rawat betul saya punya kates. Itu baru saya pupuk itu kates, karena saya lihat-lihat layu. Ini daunnya kuning-kuning semua, jadi saya lepas, karena sudah mengacau kalau dibiarkan," sambung Yacob menerangkan.
Yacob ditanya lagi soal apakah bantuan pupuk Mutiara yang sekarung tersebut sudah cukup membantu? "Tidak sampai, jauh beda. Itu isinya mungkin cuma 50 KG. Paling dipakai 2 hari untuk tanaman singkong aja itu sudah habis," tegasnya.
Sebenarnya Yacob lebih memilih uang ketimbang bantuan yang sudah diterimanya, karena dengan uang, Dia merasa lebih tahu mana yang dibutuhkan lebih utama untuk diadakan, apalagi tanaman sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.
"Percuma, soalnya kalau pupuk, kami juga bisa pakai pupuk alam. Rumput kering kami kumpul dan bakar sama tanah bakar," ujar Yacob.
Menurut Yacob, bantuan uang itu akan jauh lebih efektif daripada pupuk sekarung tersebut.
"Pupuk kandang yang saya perlukan, karena kalau pupuk kimia itu tidak cocok untuk tanaman kates. Kalau pupuk kimia, itu tanaman kates tambah membusuk. Kalau tanaman lain, itu bisa. Kalau pupuk kimia itu saya juga perlukan, tapi tidak seberapa. Itu bantuan saya mau bikin apa semuanya itu, bagus kalau dalam bentuk uang itu bisa dipakai untuk beli keperluan lain, seperti obat semprot-semprot hama, tutupnya.(*)