Agus Dian Zakaria, Jurnalis dan pegiat literasi |
Jakarta,Jurnal Investigasi.com -Selain fenomena Citayam Fashion Week, akhir-akhir ini aturan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Kominfo sedang hangat-hangatnya menjadi perbincangan publik. Hal itu pasca adanya peringatan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang mengancam bakal memblokir beberapa platform raksasa sejuta umat. Konon, hal itu lantaran beberapa platform raksasa tersebut belum juga mendaftar pada Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat hingga mendekati batas waktu yang ditentukan. Benar saja, sejak dikeluarkannya peringatan tersebut pada minggu lalu, ancaman tersebut langsung direspon dengan perlawanan deras khalayak dengan munculnya hastagh "blokir Kominfo". Walau begitu, hal itu tidak cukup membuat kominfo goyah dan tetap menunggu etikat baik beberapa platform raksasa untuk mendaftarkan diri.
Namun, beberapa hari lalu Menkominfo secara mengejutkan mengklaim beberapa platform besar seperti Youtube, Whatsapp, Twitter maupun mesin pencari seperti Google telah mendaftarkan diri. Sontak kabar takluknya platform raksasa tersebut justru mengundang kekhawatiran serius dari berbagai kalangan, di antaranya sebagian besar Aktivis dan Pers Indonesia. Hal itu tidak lain dan tidak bukan lantaran ancaman dampak dari Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 yang ada pada kebijakan tersebut. Kebijakan ini diklaim sebagai upaya mengikat platform untuk menjaga data penggunanya. Diketahui, berdasarkan informasi dari @layanan.kominfo.go.id, dalam pengolongannya, PSE memiliki dua jenis kategori. Yakni, PSE Lingkup Publik dan PSE Lingkup Privat. PSE Lingkup Publik adalah penyelenggaraan sistem elektronik oleh instansi penyelenggara negara atau institusi yang ditunjuk oleh instansi penyelenggara negara. Sedangkan PSE Lingkup Privat merupakan penyelenggaraan sistem elektronik kepada seseorang, badan usaha, dan masyarakat.
Secara garis besar, Peraturan menteri (Permen) ini mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan pendaftaran, tata kelola, moderasi informasi atau dokumen elektronik, dan permohonan pemutusan akses atas informasi atau dokumen yang dilarang. Dilihat dari pokok tujuannya sepertinya tidak ada yang menganjal untuk dipersoalkan. Namun jika ditelisik lebih jauh, Permen ini diyakini menyimpan sesuatu yang menimbulkan kecurigaan terhadap poin yang terkandung di dalamnya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah sikap ngotot Menkominfo hanya ingin menjaga data dan melakukan pengawasan melalui PSE Kominfo? Sepertinya tidak ferguso. Tujuan Permenkominfo Nomor 5 tahun 2020, sepertinya tidaklah semulia maupun sesempit itu. Sebagian khalayak mencium adanya upaya terselubung pemerintah dalam membatasi kebebasan berekspresi masyarakat bahkan membatasi ruang gerak berekspresi bahkan kebebasan Pers.
Meski menimbulkan pro dan kontra yang hebat di masyarakat, namun saya tidak ingin membahas lebih jauh bagaimana Permen tersebut dapat meraup simpati sebagian masyarakat. Namun saya ingin mengajak kita untuk menelisik lebih jauh bagaimana aturan dalam Perkominfo no 5 tahun 2020 yang saat ini sedang ramai diperbincangkan. Walau Permen ini sudah berjalan sejak 2 tahun lalu, namun sepertinya kekhawatiran sebagian masyarakat belum hilang dalam memandang Permen tersebut. Hal itu dapat dilihat dari derasnya perbincangan mengenai Permen ini dalam pelbagai portal media sosial hingga detik ini. Apalagi perbincangan ini terasa semakin masif sejak adanya ancaman blokir-memblokir dan berlanjut kepada tunduknya platform raksasa yang logonya terpampang pada beranda gadget kita.
Menurut sebuah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang pemenuhan hak-hak digital untuk kawasan Asia Tenggara. SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), jika benar diaminkannya pendaftaran PSE Kominfo oleh berbagai platform raksasa, hal itu justru menimbulkan kerentanan kebebasan berekspresi yang semakin nyata. Mengingat Permen yang mengikat dalam aturan PSE Kominfo tersebut sangat rawan terhadap penyalahgunaan.
Salah satu contoh pasalnya, ialah kebijakan PSE Kominfo terdapat pada Pasal 21 ayat 1 dan 2. Dalam pasal itu, PSE Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap sistem elektroniknya kepada kementerian atau lembaga serta aparat penegakan hukum dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, tanpa banyak disadari aturan ini juga mengatur pemberian akses data pribadi untuk kepentingan pengawasan penegakan hukum. Adapun Pasal 36 Permenkominfo No 5/2020 memberikan kewenangan bagi aparat penegakan hukum untuk meminta PSE Lingkup Privat agar memberikan akses terhadap konten komunikasi dan data pribadi. Menurut SAFEnet, kewajiban tersebut berpotensi menimbulkan terjadinya pelanggaran hak privasi lantaran belum terdapat sistem pengawasan yang jelas dalam Permenkominfo 5/2020.
Melihat kondisi penangganan hukum di Indonesia, tentu saja hal ini sangat rentan untuk disalahgunakan pada praktiknya, terutama bagi aktivis HAM, politisi, sosialita, pemuka agama bahkan pers sekalipun.
Apalagi hal tersebut menyangkut pada sesuatu yang bersifat sensitif.
Tidak hanya itu, Permen ini juga dapat membuat kinerja media sebagai kontrol sosial berpotensi menjadi macan ompong. Kok bisa? Perlu diketahui, pada Pasal 9 ayat 4 pada Permen tersebut misalnya, mengatur bahwa PSE tidak memuat informasi yang dilarang. Kriteria yang dilarang antara lain yang melanggar undang-undang, meresahkan masyarakat, dan mengganggu ketertiban umum.
Sementara itu, pasal tersebut tidak memuat adanya standar khusus pada kriteria informasi yang dikategorikan informasi "meresahkan dan menganggu ketertiban umum". Tentu saja publik bertanya apa barometer yang menjustifikasi berita yang dimaksud meresahkan dan menganggu ketertiban tersebut. Sehingga jika sebuah konten, pesan, atau pun status pada ruang privat media sosial kita dianggap masuk dua kriteria yang dituduhkan secara sepihak, maka sajian tersebut dapat di take down tanpa melalui server pemiliknya. Selain itu laman berita pada media juga berpotensi mengalami hal yang sama.
Tidak berlebihan rasanya jika poin ini diprediksi bakal menjadi bomerang bagi pers dalam menyajikan informasi. Dalam situasi krusial, poin ini bisa menjadi senjata paling ampuh dalam mengkriminalisasi siapa saja termasuk pers. Bisa saja poin ini dimanfaatkan elit penguasa dalam menyimpulkan informasi secara sepihak yang dianggap masuk kategori "meresahkan dan menganggu ketertiban".
Tidak sampai di situ, kategori 'meresahkan masyarakat' dan 'mengganggu ketertiban umum' ini juga bisa menjadi pasal karet dan menjadi multitafsir pada standarnya. Siapa yang memiliki wewenang menilainya? Hematnya, Permenkominfo 5/2020 dapat disalahgunakan untuk membungkam kelompok yang mengkritik pemerintah, termasuk media secara sepihak. Dengan pasal ini, tentu siapa saja dapat dengan mudah dibungkam bahkan dikriminalisasi,
Kekhawatiran serupa turut disuarakan oleh Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. AJI berpendapat, selain mengancam kebebasan pers secara langsung di Indonesia, Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 justru menjadi pintu masuk penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan yang dapat membunuh demokrasi.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Bidang Internet AJI Indonesia, Adi Marsiela dalam briefing secara daring dalam pembahasan Permen tersebut. Jika informasi dianggap melanggar maka info tersebut dapat langsung dilakukan take down secara langsung.
Dikatakannya, Ketentuan ini pun berisiko membuka pintu bagi siapa saja, termasuk mereka yang memiliki agenda politik dan dapat mengajukan blokir terhadap konten/berita yang dinilai meresahkan publik atau mengganggu ketertiban umum dengan penilaian sepihak.
Oleh sebab itu, selain mendesak Menteri Komunikasi dan Informasi mencabut Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, AJI Indonesia turut mendesak agar Dewan Pers turut menolak beleid yang merupakan ancaman serius bagi kelangsungan Demokrasi kita.
Kita patut berterima kasih, jika benar kebijakan ini didasari niatan untuk memastikan dan menjamin keamanan data masyarakat. Kita pun tak elok mengenyampingkannya, betapa Permen ini dapat menjadi mainan menarik penguasa untuk melumpuhkan kebebasan berekspresi dalam manjaga tahtanya.
Apapun alasannya, Indonesia merupakan negara penganut sistem demokrasi yang sepatutnya menghargai kebebasan berekspresi. Pemerintah tidak perlu terfokus memprotek diri dari opini, cukup bekerja dengan baik, ikhlas, jujur dan amanah, tentu kami akan bangga kepada anda. Toh sampai hari ini, kami masih memiliki akal sehat untuk membedakan antara kritik, menghina dan memfitnah. Jangan menciderai demokrasi hanya untuk melindungi syahwat oligarki.(*)