(Mengawali narasi utama saya, Politik siapa dapat apa?)
Oleh : Rasmin Jaya (Demisioner GMNI Sulawesi Tenggara)
Berbicara politik elektoral menuntun kita pada refleksi tentang kekuasaan dan jalannya kepemimpinan. tarik menarik antara politik nasional dan politik lokal sejatinya adalah persoalan kekuasaan. kekuasaan sangat vital dan sensitif untuk porsi pembagian jabatan dan kebijakan-kebijakan yang akan di tetapkan ke depan sebab akan berimplikasi kepada masyarakat itu sendiri sehingga orientasi kepemimpinan ke depan harus sesuai dengan keinginan dan kehendak rakyat, desakan dan kontrol politik mesti ada di luar struktur kekuasaan agar tak ada bentuk penyelewengan yang tidak sesuai dengan regulasi dan UUD 1945.
Ada banyak persoalan ketika kita mencermati dinamika politik di daerah akhir-akhir ini karena banyaknya campur tangan pusat yang turut mempengaruhi gejolak politik di daerah sehingga dominasi itu sangat kental sekali dengan muatan oligarki atau dinasti. kekuasaan sumber utama perberdayaan tanpa kekuasaan pertumbuhan dan perkembangan suatu daerah itu pasti akan mandeg.
Perdebatan alot dan dinamis menyoal politik lokal bukan semata-mata hanya soal kekuasaan tetapi bagaimana kekuasaan itu di kelola dan di distribusikan dengan baik. tanggung jawab para aktor dan elit politik di daerah harus profesional dalam menjalankan tanggung jawab sebab ada amanah rakyat untuk memastikan dan menjamin kesejahteraan rakyat itu sendiri, bukan hanya meramaikan pemilu atau menjadikan panggung untuk meraup pencitraan. kontestasi pergantian kekuasaan di daerah rasanya sudah banyak memunculkan gagap gempita akibat dari kekosongan jabatan bupati. dari beberapa komposisi yang masuk rekomendasi pelaksanaan jabatan bupati nampaknya banyak terjadi tarik menarik di lingkaran kekuasaan.
Dalam perjalanan kepemimpinan selama 5 tahun, apakah akan mempertahankan dominasi kekuasaan atau akan terhempas dari struktur pemerintahan ? banyaknya elit politik lokal yang ikut mempengaruhi proses perebutan kekuasaan di daerah akan banyak menimbulkan polarisasi baik di internal parpol maupun internal kekuasaan yang sedang berjalan ?
Apakah rakyat di daerah turut mempunyai bagian kue kekuasaan atau hanya sekedar menjadi penonton dari permainan para elit tersebut ? itu menjadi pertanyaan besar dari setiap dinamika yang terjadi sebab selama ini rakyat hanya menjadi korban dari implikasi pertarungan elit politik. ada banyak kelompok elit yang menjadi aktor dalam proses perebutan kekuasaan di daerah khususnya muna barat. persaingan politik di muna barat berada dalam sebuah sistem di mana partai-partai politik gonto-gontokan menjadi wadah persaingan untuk memuluskan jalan kepentingan nya demi mendapatkan legitimasi kekuasaan. hal ini nampak terlihat akhir-akhir ini di mana banyak partai politik yang turun di masyarakat meminta dukungan demi mendapatkan seonggak jabatan. momentum dan kesempatan tersebut tidak di lewatkan begitu saja dalam proses transisi kekuasaan. banyak desain politik ke depan tidak akan kita duga dalam hal ini ada kekuasaan yang tersembunyi yang di buat oleh elit politik daerah.
Asumsi kita yang terbangun tentunya ada kekuatan yang di gunakan untuk kepentingan pribadi, kekuatan ini muncul dalam rangka untuk mempertahankan kekuasaan dari kepentingan-kepentingan yang lain. dalam konteks kekuasaan tersembunyi di daerah penulis menilai bahwa para aktor dan elit politik di daerah yang paling dominan dan menentukan adalah elit pemerintah dan elit partai politik yang sedang berkuasa.
Hal ini juga masih akan menimbulkan banyak desakan partisipasi masyarakat yang sangat terbatas dalam mengakses kekuasaan sehingga upaya tersebut juga tak bisa di abaikan dan menjadi pertimbangan pemerintah yang punya otoritas dalam menentukan pemimpin politik yang ideal. demikian pula praktek pengaturan pentas politik oleh kekuasaan tersembunyi akan melakukan berbagai cara dan itu sala satu bentuk alat penguasa untuk mempertahankan status quo atau dominasi oligarki politik dinasti bisa langgeng baik di dalam struktur kekuasaan maupun di dalam partai politik.
Sehingga hal tersebut dapat di antisipasi dengan mendidik rakyat untuk bersuara kritis, butuh keterlibatan seluruh elemen dalam menyuarakan segala apa yang merusak dari pada tatanan demokrasi yang ada olehnya itu dengan berbagai dinamika di lingkaran kekuasaan mulai dari Pemda mewacanakan untuk melakukan peminjaman kepada DPRD Muna Barat sebesar 190 Miliar untuk menuntaskan visi-misi sampai pada rotasi dan mutasi jabatan di tataran SKPD Muna Barat dan struktur pemerintahan daerah. hal tersebut tentunya tak terjadi begitu saja, banyaknya pengaruh kepentingan yang masuk sehingga kondisi pemerintahan daerah tak begitu stabil dan berjalan baik.
Di lansir dari media Inilah sultra.Com masa kepemimpinan bupati muna barat Achmad Lamani akan berakhir pada 23 Mei 2022 yang akan datang. hal ini akan mempengaruhi iklim politik dan struktur pemerintahan yang ada di masa jabatan mantan sekda muna barat ini, jelas nanti akan terjadi kekosongan pemimpin dalam pemerintahan di muna barat pada tahun 2022. untuk melanjutkan roda pemerintahan setelah kepemimpinanya maka akan ada pelaksana jabatan bupati muna barat. wacana dan isu yang terbangun sudah ada beberapa nama yang di kantongi oleh gubernur sulawesi tenggara untuk di ajukan di kementrian dalam negri yaitu : 1. Kasat Pol PP Sulawesi Tenggara La Ode Hidayat Daerah 2. Rusdin Jaya selaku Kabiro Provinsi Sultra dan untuk nama-nama yang lain akan menyusul.
Keberadaan generasi muda menjadi sangat penting untuk mengisi post-post kritis dalam mengawal jalannya penetapan pelaksanaan jabatan bupati muna barat, karena itu kaum muda dipanggil kembali untuk menjadi garda terdepan melakukan transformasi kehidupan politik yang sudah bobrok dan terkontaminasi oleh kepentingan yang pragmatime sehingga masa depan muna barat ke depan tergantung bagaimana proses berjalannya pemerintah dan kepemimpinan hari ini. keterlibatan aktif generasi muda dalam proses pembangunan politik, sebagai kebutuhan masyarakat karena pada dasarnya pemuda harus menjadi jembatan bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya sehingga semuanya mesti berkesinambungan dalam menciptakan tatanan politik dan sosial yang lebih baik ke depan.
Generasi muda mesti sadar bahwa proses transformasi politik bukan hanya tugas dan tanggung jawab elit politik semata melainkan tugas dan tanggung jawab semua warga masyarakat olehnya itu semua wajib berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pertumbuhan daerah sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama dapat kita capai artinya esensi dan hakikat politik itu mendapatkan posisi yang semestinya. itulah sebagian dari cita-cita desentralisasi atau pemekaran daerah otonomi baru.
Saat partai politik dan para kandidat calon kepala daerah hanya meramaikan pemilu setiap 5 tahunnya sementara rakyat di jadikan ladang untuk meraup suara sebanyak banyaknya seolah olah para elite politik peduli nasib rakyat tetapi pada faktanya itu hanyalah sebuah pencitraan. kebijakan yang mereka buat pun tanpa mendengar suara hati kita sebagai rakyat Indonesia, tanpa melihat nasib kita tetapi hanya melihat nasib mereka sendiri, golongan nya, dan partainya sendiri.
contonya adalah dengan kita melihat bagaimana pertarungan yang sangat keras pada sisi elit politik ketika kompetisi politik lokal dalam perebutan kekuasaan, kemudian membuat publik terpolarisasi secara tajam.
Dari situlah peran pemuda sangat di butuhkan untuk menjadi pengontrol dan penekan di luar struktur kekuasaan, kaum muda seyogyanya hadir sebagai pilar penyangga kehidupan berdemokrasi. kaum muda tidak boleh tinggal diam apalagi menarik diri dari ranah kehidupan politik. bukan menjadi bagian dari praktek-praktek politik yang pragmatis yang transaksional. sekarang ini bagaimana cara mengatasi dan menetralisir agar tidak terjadi upaya-upaya terselubung yang di mainkan oleh elit politik daerah melenggengkan kepentingan pribadi nya. legalitas dan aturan main dalam pembangunan politik harus menjadi acuan dalam menjalankan tanggung jawab dalam sistem pemerintahan agar apa yang menjadi tujuan daerah otonomi baru (desentralisasi itu bisa tercapai) .