Oleh Rasmin Jaya Ketua DPK GMNI FISIP-UHO
Mari bicara alam, Nyatanya mereka terus di eksploitasi, di akumulasi dan di ekspansi dengan dalil pembangunan yang maha kuasa.
Daerah Wawonii, Konawe Kepulauan termasuk daerah yang kaya akan sumber daya alam dan tambang. Pemerintah daerah dan pengusaha investor tentunya sangat berhasrat untuk bisa mengeksplorasinya.
Eksplorasi tambang di daerah wawoni membawa dalil dan dalil sebelumnya untuk kesejahteraan masyarakat dan menunjang pertumbuhan ekonomi yang sangat melimpah, memperluas lapangan pekerjaan dan bisa meningkatkan pendapatan daerah.
Upaya tersebut guna memberikan keyakinan kepada seluruh masyarakat bahwa kehadiran investor ini adalah salah satu juru selamat yang bisa memberikan kebahagiaan hidup pada masyarakat setempat.
Namun di sadari dengan sungguh pernyataan tersebut nampaknya bertolak belakang dengan apa yang terjadi di lapangan faktanya ketika usaha pertambangan berlangsung lama dan perluasan aktivitas terus di genjot.
Akibatnya lingkungan menjadi rusak dan tercemar, tatanan sosial menjadi kacau akibat solidaritas masyarakat mulai terpolarisasi akibat kepentingan satu sama lain sehingga hal tersebut tak bisa di elakan lagi.
Jika sewaktu waktu terjadi chaos sosial dan di sisi lain juga adat istiadat, budaya sedikit demi sedikit mulai tergerus akibat masuknya pengaruh luar yang mencemari kebudayaan daerah setempat. Dampak negatif tersebutlah yang selama ini tak pernah di perhatikan oleh pemerintah dan perusahaan, tidak ada kerja sama antara pemerintah dan rakyat karena perbedaan kepentingan yang sangat fundamental.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan di pergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” Hal tersebut adalah upaya penegasan bahwa negara dan daerah atas kekayaan alam yang di miliki di mana hasil kekayaan tersebut hanya di pergunakan untuk kesejahteraan rakyat bukan untuk kepentingan segelintir orang.
Tak pelik lagi bahwa wawoni adalah masalah yang sangat akut dan sangat vital jika di jadikan sebagai objek dan lokasi tata kelola tambang. Meski secara kualitas sumber daya alam Daerah Konawe Kepulauan adalah daerah yang sangat melimpah kekayaanya dan menjadi sorotan investor-investor tambang untuk mencengkramkan kukunya di daerah tersebut secara letak geografis wilayah daratan wawoni tak memungkinkan untuk di jadikan sebagai lokasi pertambangan karena wilayah terlampaui kecil dan jika terus menerus di keruk lama kelamaan akan tenggelam.
Berdasarkan pengamatan penulis yang beberapa tahun terakhir ini yang juga ikut bergelut dalam dunia demonstrasi untuk menuntut di cabutnya Izin Usaha Pertambangan yang ada di daerah tersebut karena munculnya sebuah persoalan besar yang mengiringi usaha pertambangan di lapangan di antaranya : terkorbankanya pemilik lahan bahwa kegiatan usaha pertambangan adalah kegiatan yang cenderung mengorbankan pemegang hak atas tanah.
Hal ini sering terjadi lantaran kurang bagusnya administrasi pertanahan di tingkat bahwa juga karena faktor budaya dan adat setempat yang investor juga tak bisa abaikan itu. Kebiasaan masyarakt adat dalam beberapa tempat dalam hal penguasaan hak atas tanah biasanya cukup dengan aturan internal merekayaitu saling menghormati dan mengetahui antara batas-batas tanah.
Keadaan tersebut justru di manfaatkan segelintir orang dengan cara membuat surat tanah dari desa setempat untuk mendapatkan legalitas formal maka secara tidak langsung masyarakat tak bisa berbuat apa-apa dan lahan tersebut bisa menjadi bulan-bulanan lokasi pertambangan.
Di sadari dengan sungguh bahwa ini adalah realitas yang sangat vital yang terjadi di beberapa daerah yang ada di sulawesi tenggara yang berpotensi terjadinya konflik agraria karena mempertahankan tanah ulayat masyarakat setempat yang menjunjung tinggi budaya, adat istiadat dan kebiasaan meski secara ekonomi tak selalu berkecukupan. Tetapi intinya ruang hidup harus terus di pertahankan dan di perjuangkan.
Masalah berikutnya adalah kerusakan lingkungan, isu dan wacana ini selalu menghiasi dunia maya bahwa kehadiran investor pertambangan tak selalunya berdampak baik. Jika kita mencermati kegiatan usaha pertambangan adalah kegiatan yang sudah pasti akan menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, lebih-lebih jika tak ada analisis dampak lingkungan yang menjadi jaminan agar dalam prakteknya tak menyalahi kaidah-kaidah yang berlaku dalam aturan pertambangan.
Artinya jika mendapatkan proses galian sudah barang tentu akan terjadi perombakan dan perubahan permukaan bumi yang secara letak geografis tak memenuhi standar kriteria untuk menjadi lokasi pertambangan.
Meski di sadari dengan sungguh kegiatan pertambangan merupakan industri penyuplai bahan baku dasar bagi industri hilir dengan demikian kegiatan tersebut akan terus berlangsung meski menabrak berbagai aturan dan kemanusiaan itu sendiri.
Masalah lainnya lagi adalah ketimpangan sosial kebanyakan usaha pertambangan di daerah terpencil di mana keadaan masyarakatnya masih hidup dengan keadaan sangat sederhana dan kondisi sosial umumnya masih berada di dalam garis kemiskinan.
Di lain pihak kegiatan usaha pertambangan membawa pendatang dengan tingkat pendidikan yang cukup menerapkan teknologi menengah dan teknologi tinggi dengan budaya dan kebiasaan yang bertolak belakang dengan masyarakat setempat, kondisi ini menyebabkan munculnya kesenjangan sosial antara pelaku pertambangan dan masyarakat setempat sehingga hal tersebut sangat kontras sekali antara harapan dan kenyataan.
Beberapa analisis penulis yang mencoba mengurai dari mencermati hal yang terjadi di sulawesi tenggara ini adalah benturan berbagai kepentingan antara yang mempunyai investasi usaha pertambangan dan kondisi masyarakat setempat yang secara asas dan manfaat tidak mendapatkan kebutuhan secara mendasar dari kehadiran pertambangan tersebut.
Dalam realitas kehidupan banyak kita temui bagaimana dinamika kusut yang tidak kunjung terjadi, banyak di jumpai benturan antara harapan dan kenyataan sehingga menjadikan kita pesimis dalam menghadapi kenyataan yang ada.
Paradigma pengelolaan pertambangan seharusnya bisa menjadi cermin bagaimana perusahaan itu berjalan, memenuhi kaidah yang berlaku mulai dari penetapan wilayah yang strategis dan tidak berdampak negatif terhadap masyarakat sekitar lokasi pertambangan.
Tahap pengelolaan yang tidak mengabaikan kondisi lingkungan untuk di cemari secara serampangan yang mesti di laksanakan yang mesti tata kelolanya harus memenuhi standar yang terstruktur dan masif agar limbah pertambangan tak mengganggu dan merusak lingkungan yang ada, keseimbangan lingkungan hidup, biar bagaimana pun ruang hidup dan lingkungan harus menjadi prioritas di atas kepentingan segelintir orang yang sesuai dengan perundang-undangan dan izin usaha tambang yang berlaku untuk di pergunakan bagi kemakmuran rakyat dan kemandirian bangsa.
Penulis menilai bahwa kerusuhan yang sering terjadi akibat ketidakseriusan dan gagalnya pemerintah menangani persoalan antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Tentunya hal ini sudah sering terjadi bahkan menimbulkan potensi yang sangat besar besar untuk selalu terjadi dinamika dan benturan antara masyarakat dan perusahaan.
Semestinya rakyat mendapatkan perlakuan yang adil dengan pemilik modal atau pengusaha jika memang hak ulayat atas tanah yang di miliki di inginkan untuk di kelola.
Beberapa bulan belakangan ini konflik agraria di lokasi pertambangan dan sumber daya di berbagai daerah menunjukan pertentangan yang sangat besar bahwa rakyat akan selalu mempertahankan haknya di atas kepentingan pemodal dan kapitalis itu sendiri.
Meski ekspansi mereka telah sampai ke pelosok-pelosok daerah yang ingin sedikit demi sedikit menguasai kekayaan alam yang di miliki oleh daerah tersebut seperti emas, timah, minyak, batu barah dan pasir. Sayangnya kekuasaan modal sering kali berkolaborasi dengan kekuatan birokrasi sementara rakyat selalu menjadi korban yang tidak berpihak dan selalu di kambing hitamkan.
Rakyat yang lebih dulu mendiami suatu daerah harus mengalah demi pemodal yang mendapatkan legitimasi kekuasaan dari pemerintah. Daerah pun menjadi incaran buat siapapun yang punya kepentingan baik nasional maupun global.
Desa atau daerah yang dulunya seperti gadis cantik yang indah dan perawan kini menjadi rebutan dan harus tunduk akibat modal yang membumbung tinggi untuk di jadikan sasaran empuk.
Sementara warga masyarakat ingin mengedepankan kenyamanan lingkungan hidup namun sayangnya pemerintah tidak kunjung responsif dan terkesan melakukan pembiaran.
Penulis menilai bahwa tindakan yang di lakukan pemerintah ini adalah sala satu bentuk dukungan kepada investor maka tidak akan heran jika warga melakukan aksi pemberontakan yang mempertahankan hak dan ruang hidup mereka sebagai masyarakat yang beradat.
Stop pendekatan aparat keamanan. Tanah Itu Bermilik.