Dalam perjalanannya, aturan masa jabatan Presiden dan Wapres mengalami beberapa perubahan. Pada aturan awal, masa jabatan dibatasi selama 5 tahun pada setiap periode dan dapat dipilih kembali.
Pada tahun 1963, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan ketetapan Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Seumur Hidup. Ini menjadi aturan dalam sejarah kepemimpinan masa Orde Lama.
Dalam ketetapan tersebut, tertulis bahwa pribadi Bung Karno memenuhi syarat-syarat sebagai presiden baik ditinjau dari segi revolusi, konstitusi 1945, maupun agama Islam. MPRS menilai, Bung Karno merupakan perwujudan perpaduan pimpinan revolusi dan pimpinan negara. Selain itu, Bung Karno disebut sebagai pemersatu dari seluruh kekuatan rakyat revolusioner.
Berikut bunyi pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen dikutip dari situs resmi DPR RI:
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali."
Pasal tersebut menjadi salah satu penyebab kekuasaan Soeharto langgeng sampai 32 tahun. Begitu masuk masa Reformasi, terjadi perombakan beberapa aturan.
Pada tahun 1999, MPR melakukan perubahan terhadap pasal 7 UUD 1945. Sejak masa Reformasi hingga saat ini, pemerintah telah melakukan empat kali amandemen terhadap UUD 1945.
Berikut bunyi pasal 7 UUD 1945 setelah mengalami amandemen:
Perubahan Pertama
Pasal 7 UUD 1945
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Perubahan ketiga
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal 7C
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Amandemen dilakukan pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Penulis adalah Aktivis Pemerhati kebijakan pemerintah dan sekjen DPP Lembakum Anak Negeri