Jakarta, Jurnalinvestigasi.com.com-Peneliti Kebijakan Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro menilai anggaran Pemilu serentak di 2024 naik tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun 2019 adalah hal yang konyol.
Menurutnya, mahalnya proses demokrasi sepertinya menjadi dogma buta bagi KPU, sehingga nekat mengajukan anggaran yang membengkak. Tidak kepalang tanggung mencapai Rp. 86 Trliyun yang kemudian dirasionalisasikan oleh KPU dengan angka Rp 76,6 triliun sebagai usulan akhir oleh KPU.
Dalihnya sederhana pemilu 2024 dilakukan serentak. Padahal logika awal pemilu serentak itu adalah pengehmatan biaya, perampingan operasional dan penyederhanaan waktu.
"Dalih Pemilu serentak 2024 itu bakal jadi celah rampok uang negara, negara ini sudah mau bangkrut, tapi masih aja dikuras dan KPU ini sudah mulai tidak rasional dalam bekerja,” tegas Riko Noviantoro, kepada wartawan, Rabu (16/2/2022).
Padahal, lanjut Riko prinsip dasar melaksnakan pemilu serentak adalah efisien biaya dan waktu. Plus efisiensi proses kegiatan. Logika itu sepatunya mewarnai penyusunan anggaran pemilu serentak. Bukannya dibalik dan dijadikan alasan kerumitan pemilu serentak, maka pelru dana besar.
Apalagi, sambung Riko tahapan pemilu yang dilakukan tidak lagi butuh anggaran besar. Mulai tahap verifikasi data pemilih, proses penetapan data pemilih sampai pada proses lainnya sejatinya sudah berlangsung sejak sensus penduduk 2020.
Bahkan tambah Riko, data pemilih sudah pula dikantongi pada tahun 2019 dan sebelumnya. Artinya pedataan para pemilih sudah 80 persen tercatat baik. Artinya tidak lagi ada proses yang rumit atau diulang dari awal.
“Konsekuensinya kan dana-dana seprti itu bisa hemat. Apalagi dana sosialisasi dan sebagainya. Era digital bisa melakukan penyerderhanaan tahap sosialisasi,” pungkasnya.
Untuk itu, ia berharap pemerintah peka dengan kondisi masyarakat saat ini. Situasi pandemic yang terjadi butuh treatment berkelanjutan. Maka perlu penataan keuangan yang lebih baik dan efektif.
Riko pun mendesak KPU agar bisa juga peka pada kondisi sekarang. Apalagi pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara itu masih lemah. Uang besar yang dikucurkan menjadi potensi terjadi penyimpangan yang juga besar.
“Maka pada akhirnya demokrasi yang digerakan KPU hanya jadi demokrasi berbiaya mahal, tanpa manfaat yang optimal,” imbuhnya.
Riko meminta semua elemen masyarkat ikut mengawasi penggunaan anggaran ini. Berikan masukan dan kritik jika ditemukan hal yang tidak tepat. KPU memang tidak bisa bekerja sendiri. Perlu keterlibatan pihak lain. Agar hajat pemilu serentak ini bisa mencapai tujuan bersama. (Aswan)