Anggota Komis VI DPR RI, Amin Ak ( Foto: dpr.go.id.)
Jakarta, Jurnalinvestigasi.com-Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak menilai, kisruh pengadaan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PT PLN mengungkap adanya dugaan perburuan rente di perusahaan setrum milik negara tersebut.
Kian seringnya krisis pasokan batu bara membuka fakta ketidakberesan pemenuhan kebutuhan batu bara untuk PLTU PLN.
Merujuk pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan, bahwa PT PLN Batubara membeli batu bara kepada trader bukan kepada produsen batu bara memunculkan dugaan adanya praktik rente untuk keuntungan pihak tertentu.
Amin pun mendesak dilakukan audit menyeluruh terhadap kegiatan pengadaan batubara oleh PT PLN Batubara.
“Tidak cukup dengan membubarkan PT PLN Batubara, harus ada audit menyeluruh untuk mengungkap ada tidaknya praktik moral hazard. Audit juga untuk mengungkapkan siapa saja pemburu rente pengadaan batu bara, jangan sampai PT PLN Batubara hanya jadi kambing hitam saja,” tegasnya kepada wartawan, Jumat (14/01/2022).
Menurutnya, praktik rente tersebut sangat merugikan rakyat sebagai konsumen listrik. Tak hanya itu, lanjut dia, inefisiensi biaya produksi listrik berdampak naiknya tarif dasar listrik yang berakibat naiknya pengeluaran masyarakat maupun dunia usaha.
"Negara pun harus mengeluarkan alokasi APBN lebih besar untuk menyubsidi listrik golongan masyarakat bawah," ungkap Amin.
Selain audit menyeluruh, Amin juga mendesak Kementerian BUMN untuk melibatkan aparat hukum guna menyelidiki dugaan korupsi manajemen PT PLN Batubara.
"Ketidakpatuhan manajemen PT PLN Batubara terhadap Keputusan Menteri ESDM No.255.K/30/MEM/2020 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri (Domestic Market Obligation/ DMO) minimal 25% dari produksi batu bara para produsen, dengan harga untuk pembangkit listrik maksimal (HBA) adalah US$ 70 per ton menjadi dasar kuat," tandasnya.
Amin kembali menjelaskan, data Kementerian ESDM menunjukkan, cukup besar kontrak pengadaan batu bara PLN yang dilakukan dengan perusahaan dagang.
"Kontrak dengan perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OPK) hanya 38 persen dari total kontrak, sedangkan kontrak dengan pemegang kontrak karya batubara (PKP2B) hanya 31 persen," ungkapnya lagi.
Amin menilai, kontrak pengadaan batu bara PLN dengan pemegang IUP OPK juga dapat menimbulkan ketidakpastian pasokan, terutama saat harga batu bara meroket.
Pasalnya, kata Amin menambahkan, perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi kebijakan DMO sebesar 25% dari produksi batu bara mereka.
“Tata kelola pasokan batu bara ini harus segera dibenahi, jangan sampai PLTU berhenti beroperasi karena tidak memperoleh batu bara,” pungkasnya.